data-ad-format="auto"

SATU SEQUEL SAJA

Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag SURABAYA



Semalam aku tak bermimpi.
Gagasanku moksa entah ke dimensi berapa. Dan aku sendiri rebah pasrah di haribaan ketiadaan yang sempurna. Sang waktu, yang dalam perutnya mengandung si malam, menelanku begitu saja: tak bersisa hingga di fajar paginya.
Lantas mata hari nyala menyentak. Jarum jam dinding menghalau motivku. Digiringnya aku kepada istana besar bernama ilmu.
Ialah kampus cintaku, yang dibangun dari cita-cita leluhurku. Dan disusun dari batu bata harapan masa depan generasi negeriku. Gagah berdiri di sepanjang jalan Semolowaru yang selalu membiru.
Ahai, mengapa pagiku berjalan tanpa sebab logis begitu?
Aku tak tahu.
Aku tidak pula ingin tahu.
Tak penting amat semua itu. Sebagaimana pentingnya datangmu yang mendadak merampas jiwa tenangku.
Kendati hadirmu tak disertai seikat bunga nan rupa. Juga tak ada selarik bait sajak meng eja, tapi tak mengapa. Toh di tanganmu telah tergenggam sebotol anggur dewi asmara, yang kau ingin kureguk tandas tuntas hingga dasar nikmatnya.
Ah, aku ingin mabok.
Aku mau kepayang bersamamu.
Aku butuh dengus lenguh puncakmu.
Di mana setiap tetes keringat disesapi udara hingga purna.
Dan dua jantung yang berdetak berkejaran sepanjang siang, lalu diakhiri jerit lengking yang bahkan kuasa menjeda masa.
Seketika atmosfir henyak, menghening. Beri kesempatan menata paru merongga. Hadirkan lega di sana.
Selebihnya, aku tidak perlu tahu bagaimana harus bersikap pada kita punya peristiwa. Toh nafas kita telah saling tertukar di tiap ujaran, kata dan tawa.
Cukup sodorkan saja sejarahmu itu. Bermain-main genit digendang aku punya telinga. Yang lama kupenjara pada terali rasa ingin tahu. Dan kupasung dia pada jeruji penasaran akan bilik rahasia.
Katakanlah, wahai belahan ruhaniku, penggenap batinku. Nyatakan. Dan biarkanlah cerita absurd kita menjadi pena, yang menggurat ayat–ayat hikayat. Lalu aku akan berenang di setiap aksaranya, menyelam hingga titik dan komanya.
Kamu, juga aku, adalah tokoh dalam lakon hidup. Serupa panggung satu sequel yang tak pernah rampung. Yang ingin selalu terpahami oleh entah siapa kelak pewaris dari narasi kita.
    “Aku punya Proyek Video, ingin beroleh sumber. Bagaimana? Bisa bantu tidak?!” Tanyaku memecah suasana.
Kau tak menjawab.
Untuk sejenak kau lepaskan asap rokokmu mengepul ke atas lepas. Pada langit yang menadah terima. Sejurus lantas disusuli anggukanmu. Dengan tak lupa sungging senyum manismu menyertainya pula.
Kemudian sore hingga petangnya merangkak pasti. Mulut menggemaskanmu itu berceloteh ke sana ke mari, mencabik-cabik teori, hukum, postulat, dan paradigma penghias toga.
Segudang buku seperti takluk dalam kebenaran empirismu.
Di setiap argumentasimu, pengalaman benar-benar kau duduk letakkan pada singgasana kebenaran, yang kemarin-kemarinnya telah tercongkel dari tahta absolutisme nya.
Pendaran inner mu itu sungguh serupa titah langit pada anak-anak sang kehidupan.
Begitu indah.
Begitu magis.
Aku terkesima dalam dalil yang diusung oleh alun suara dari bibir yang selalu mengundang keinginan, memagut melipat lumat.
Aku raib tak lagi menjadi jati ku. Romantisme kesilaman meluluh lantakkan perbawaku yang mengandalkan jumawa. Aku ingin berlama-lama.
Sayangnya, Arloji mungilmu terus setia bekerja, menggeser surya barat untuk segera dibenamkan di horison Maghrib sana.
Ingin sekali kubanting benda itu, rasanya.
Tapi aku takut akan harganya.
Aku hanya bisa menyesal, mengapa malam keburu bertandang. Sementara aku belum lagi sempat mempercantik peristiwa. Aku juga mau menghipnosamu sebenarnya. Dengan kisahku yang pernah mengalir, bagai sungai elegi bermuara di pantai epic. Saat pernah aku memujamu dari jarak kerahasian yang diselubung misteri dan dihalang nyali.
Aku juga punya peran, serupa dramaturgi tanpa tutup layar. Ibarat kertas dalam buku dongeng, minus sampul belakang. Sebab masih ada episode yang terlupa belum sempat kau baca. Dan itu tersurat pada lipatan sejarah rasa.
Tapi tak mengapa, setidaknya ini hari, aku telah pernah meng ada pada dirimu. Pada duniamu.
Pada persoalan hidupmu di sana. Yang anehnya coba kau cari jawabnya di sini.
Di diriku.
Ya, di aku.
Jadi, beginilah aku.
Sosok yang merelakan diri menjadi sejenis amunisi mu. Meski aku tahu itu adalah perangmu, dan bukan pertempuranku.
Aku rela.
Sebab aku hanyalah satu peluru di antara meriam mesin lagamu.
Terkadang hidup memang tak harus menang.


(Fiksi)

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE