data-ad-format="auto"

LKMM vs GENERASI POP

Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
didedikasikan setinggi-tingginya untuk NZ


Apa yang tersisa dari Latihan Kader Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa FISIP?

‘Perasaan risau!’

Saya gundah karena ada beberapa hal dalam kurikulum pelatihan tersebut tidak tersampaikan pada peserta mahasiswa baru. Bukan karena cuaca, juga bukan karena keputusan penyelenggara, tapi lebih pada faktor otoritas eksternal panitia. Saya galau karena banyak sekali pertanyaan dari luar peserta yang bernada memojokkan: “Mengapa di LKMM tidak boleh mandi?! Mengapa pada LKMM dilarang gunakan Make Up?! Apa wewenang kalian melarang penggunaan Gadget pada LKMM?! Apa maksud dengan semua aneh-aneh ini?!”
Atas semua pertanyaan itu: saya risau.

Barangkali target yang dipancang kelewat tinggi, ataukah ekspektasi yang berlebihan, saya tidak tahu. Tapi itulah, ada perasaan gulana yang pelan-pelan merayapi saya, menjadikan tidur sungguh tak nyenyak. Saya menaruh harapan besar pada hajatan tersebut. Sebab ada nasib secuil generasi yang dipertaruhkan di sana. Kepedulian akan nasib generasi muda oleh Negara, pun orang-orang tua seumur saya yang telah kikis seiring merambatnya waktu, menjadikan LKMM kali ini begitu penting, menjadi begitu momentum, juga menjadi begitu strategis!

Penggemblengan kader adalah salah satu cara untuk mengembalikan generasi pada jati dirinya yang azali, yang original. Jati diri aseli yang selama ini telah tercerabut dari diri generasi akibat jajahan ‘karakter identitas fantasi’ bentukan industri yang diinjeksikan pada benak ‘image’ anak-anak muda ini. LKMM dengan demikian adalah sebuah ihtiar besar menemukan karakter generasi, minus karakter polesan, topeng, pun juga cover palsu bentukan para pemodal tadi. Dan salah satu cara melepas semua topeng, atribut, serta polesan palsu tersebut adalah dengan meng-empiris-kan anak-anak muda tersebut pada praktek realitas hidup yang paling primitive. Agar dikenali lagi kemanusiaannya yang orsinil. Supaya kembali kejatian dirinya yang insani. Dari sanalah karakter bisa baru benar-benar dibangun. Mustahil mendirikan bangunan kokoh dari atas sebuah fondasi rapuh. Tak ada jalan lain, kecuali robohkan fondasi palsunya terlebih dahulu. Dan kembalikan fondasi aseli nya. Pun jika itu harus dilakukan dengan tanpa sabun ataupun tanpa gincu, maka apa dikata: Laksanakan!
Inilah rasionalitas kurikulum LKMM tanpa mandi, tanpa make up, tanpa gadget, dan (semoga) tanpa nyinyir.

Anak-anak muda itu sejatinya adalah sang kurban. Kurban dari modernisasi yang kita ciptakan sendiri. Penarikan (eksodus) cara hidup rakyat, oleh negara, dari sektor tradisional ke arah sektor modern secara besar-besaran, sejak Indonesia memutuskan dirinya menjadi kapitalistik 40 tahunan yang lalu, nampaknya berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter generasi yang lahir belakangan. Karakter nasional yang diidam-idamkan para pendiri bangsa dan hendak dibangun untuk menjadikan bangsa yang berciri kepribadian khas Indonesia tak juga tercapai hingga kini.
Anak-anak muda peserta LKMM itu buktinya.
Anak-anak muda yang saya nilai telah tercebur dalam kubangan ‘nge Pop’.

Apa boleh buat, saya harus turun gelanggang. Bangsa ini sudah terlanjur terjerumus dalam karakter pragmatism kapitalistik dengan spirit individual yang kelewat tinggi. Wajar jika budaya pop telah menjadi panutan bagi generasi muda mutakhir. Totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lain yang dipilih sebagai mainstream budaya generasi muda sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil dari Revolusi Industri dan Era Trading yang terjadi di awal abad ke-20 dan berlanjut menjadi arus utama global di ujung abad ke-20. Nge Pop nya anak-anak muda itu adalah hasil dari cara rezim pengelola Indonesia memerintah kemarin-kemarin, sehingga tergelar red carpet untuk masuknya arus modal ke Indonesia dan berakibat pada industrialisasi.

Budaya Pop, atau Budaya Populis, disebut juga Budaya Massa, merupakan budaya milik mayoritas masyarakat tak berbudaya tinggi dan tak berpendidikan. Pada arus himpunan manusia seperti ini, identitas seseorang telah tenggelam. Larut dalam samudera massa. Individu sama sekali tidak memiliki identitas, pun kedaulatan untuk memutuskan nasibnya sendiri. Masing-masing meniru tingkah laku manusia lain yang “sekerumunan.” Kata Bennet dan Tumin, kebudayaan jenis ini tak ubahnya onggokan segerobak 'ide bersama' dan 'pola perilaku' yang memintas garis sosio-ekonomi dan pengelompokan sub-kultural. Secara ekstrim saya katakan bahwa mereka adalah Kebudayaan Gerombolan!

Saya tidak sendirian, di Barat sana, Aliran Frankfurt, menudingnya sebagai cara hidup yang dihasilkan dari industri budaya untuk stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme. Muaranya jelas, produksi massa dan pasar demi mengeruk keuntungan dari khalayak konsumen semata. Konsumen yang terdiri atas lautan pemuda tadi. Cirinya bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan 'selera dangkal'. Di Eropa budaya massa ditujukan kepada mayoritas masyarakat Eropa kelas menengah ke bawah yang tak terpelajar, seperti kelas pekerja dan kaum miskin yang mereka sebut sebagai mass atau masse. Budaya massa ini adalah simbol otonomi kultural dari orang-orang yang tidak terdidik. Mass Culture, kata orang Inggris. Orang Jerman menyebutnya Masse und Kultur.  Identik dengan ejekan atau ledekkan terhadap pilihan-pilihan kaum kelas rendahan, seperti pilihan produk, ide, perasaan, pikiran dan sikap orang-orang tidak terpelajar. Frankfurt School, yang Neo-Marxis itu,  mengolok-olok, bahwa masyarakat pop, diciptakan untuk dijerumuskan ke dalam masyarakat individualis yang terasing. Tujuannya ialah agar tetap terjaga kesatuan melalui budaya industri yang ditangani kapitalisme. Budaya ini dikreasi dari logika massification of product - pemassalan produk dan homogenization of taste - penyeragaman selera.
Pemimpin tidak bisa dilahirkan dari kerumunan tanpa ruh seperti ini.

Saya memaklumi dan meng amini ketika Chaney dengan sinis menyebut bahwa konsumerisme menjadi pusat perkembangan sosial, “priode setengah terakhir abad 19 dan dekade pertama abad 20, tema budaya dasar mengenai masyarakat massa abad ke 20 telah terbentuk, terutama keinginan dari orang-orang biasa untuk menginvestasikan sumber daya dalam memburu gaya.”
Dan pemimpin mustahil muncul dari pemburu gaya.

Hari ini dengan kecepatan dan kecanggihan teknologi informasi berakibat pada terjadinya perselingkuhan antara realitas dan ilusi. Anak-anak muda peserta LKMM itu telah lama menjadi obyek bentukan simulasi, abdi dari hyper realitas, didominasi oleh citraan dan visual digital dari menit ke menit. Indonesia hari ini tak ubahnya sebuah gugusan wilayah yang didiami oleh lautan generasi automaton, tanpa kemandirian, dan tak berdaulat untuk bisa memutuskan kehendaknya sendiri, karena terbius oleh cellular handphone. Seluruh waktunya merupakan hasil dari penggiringan kesadaran semu: dikte pikiran oleh piranti teknologi informasi.
Adalah wajar jika lantas LKMM kali ini mengharuskan minus Gadget alias Haram HP!

Apa yang sedang diupayakan oleh penyelenggara LKMM sebenarnya adalah model pembelajaran, yang disusun tidak dengan cara ngarang ataupun cara-cara ngawur. Mereka menerapkan model pelatihan, yang diujungnya ialah modifikasi perilaku individu peserta LKMM dengan membasiskan pada kombinasi antara Psiko analisanya Sigmund Freud, Behavioristiknya Paflov, dan Humanistiknya Paulo Freire. Bahkan menyertakan sekaligus Rene Decartes: Saya Berpikir maka Saya Ada - muasal dari mana jargon pelatihan dipungut oleh panitia: "BERPIKIR SAMPAI MATI!"

Karena, kita tidak bisa mengingkari kesan bahwa manusia umumnya menggunakan standar yang keliru, kata Freud, mereka mencari kekuatan, sukses dan kekayaan untuk diri mereka sendiri, memuji diri mereka sendiri dihadapan orang lain dan mereka memandang rendah pada apa yang sebenarnya berharga dalam hidup", maka itulah mengapa LKMM kali ini merupakan kanal bagi generasi muda untuk laku pada pencarian keazalian ‘Siapa Aku’ seraya menggerus ‘polusi mental dan racun pikiran’ bikinan industry. Itu saja, maksud mereka, tidak lebih.

Atas apa yang telah mereka ihtiarkan saya sampaikan terimakasih, utamanya kepada Hafit, Irvan, Ari (ketupel dan Sie Acara), Rois dan Sandi (BEM), Ismail dan Irma (DPM), Eki, Bimen, Clemen Dan Kawan-Kawan Panitia juga alumni yang maaf tak bisa saya sebut satu per satu. Dan atas nama Andia Jingga Langit Persada Timur, khusus buat NZ: makasih yaa, sudah berpayah 2 kali 24 jam jagai dan merawatnya kala sakit. Saya akan membalasnya dengan cara bersedia bersama-sama kawan lainnya dalam pelibatan diskursus.

Oh ya. Apresiasi dan Trimakasih pada pemateri: Pak Yudhi Hariwibowo, Pak Hamim, Pak Endro Tjahjono dan Pak Bambang Kusbandijo yang telah menginfakkan dirinya menjadi pelumas mesin besar yang dengan sepakat bulat kita namakan Kawah Candradimuka alias LKMM.

2 wicara:

Irfan vanrie mengatakan...

pakk itu bukan bimen... Pman yang bener

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Oke makasih, saya salah tulis, maklum sudah udzur suka salah, hehehe

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE